Senin, 22 September 2014

BAYI TABUNG SERTA PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANGNYA

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Masail Fiqhiyah


Disusun Oleh:
Rizki Wisnu Wardana             210312208
Syarifuddin H                         210312210
Munif Abwani                         210312211

Dosen Pengampu:
Abdillah Halim, M.S.I.

PROGRAM STUDI TARBIYYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2013
PENDAHULUAN




A.    Latar Belakang Masalah
Al-qur’an surat 49:13 dan 75:39 menyebutkan bahwa Allah menjadikan manusia kepada dua jenis: laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin tersebut masing-masing diberi naluri saling mencintai, dan sebagai buahnya manusia di dunia ini dapat berkembang biak. Untuk memperoleh keturunan yang sah, sebelumnya manusia diperintahkan membentuk rumah tangga melalui proses akad nikah dengan aturan yang telah ditentukan. Hubungan jenis kelamin itu jika tanpa didahului akad nikah tergolong perbuatan zina. Dalam islam, zina dilarang dan hukumnya haram.
Agar tercipta rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan petunjuk agar sebelum perkawinan memilih calon yang baik. Di antara kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga adalah hadirnya anak seperti yang didambakan. Pada kenyataannya, kehadiran anak yang didambakan itu ada yang tidak terwujud.
Sebagai akibat dari ketidakhadiran anak dalam suatu keluarga, setidaknya keluarga tersebut akan mencari beberapa alternatif misalnya: 1) menyerah kepada nasib,2) adopsi, 3) cerai, 4) poligami, 5) inseminasi buatan.
Mengenai alternatif terakhir (inseminasi buatan) yang nota bene penemuan di bidang teknologi kedokteran, masih banyak persoalan terutama jika ditinjau dari segi hukum agama. Oleh sebab itu makalah ini bertujuan melacak pelaksanaannya.

B.     Rumusan masalah
1.    Apakah pengertian dari inseminasi buatan(bayi tabung) ?
2.    Bagaimanateknik inseminasi buatan (bayi tabung) ?
3.    Bagaimana prosedur inseminasi buatan (bayi tabung) ?
4.    Bagaimana analisis pelaksanaan inseminasi buatan menurut tinjauan hukum islam beserta permasalahan-permasalahannya ?
5.    Bagaimana status anak dari hasil inseminasi buatan (bayi tabung) dalam islam ?




 


PEMBAHASAN


A.    Pengertian Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari istilah Inggrisartificial insemination. Dalam bahasa Arab disebut al-talqih al-shina’iy. Dalam bahasa Indonesia ada yang menyebut pemanian buatan,pembuahan buatan, atau penghamilan buatan.Secara umum dapat diambil pengertian bahwa inseminasi buatan adalah suatu cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus).[1]
Dalam sumber lain mengatakan inseminasi buatan adalah perpaduan sperma pria dengan ovum wanita, untuk maksud pembuahan atau penghamilan.[2] Imam Asy-Sya’rawi mengatakan bayi tabung adalah mengambil ovum perempuan dan sperma laki-laki, lalu menyiapkannya dalam tabung dalam suhu tertentu dan selam periode tertentu selama ada kerusakan pada istrinya yang menyebabkan dirinya tidak dapat hamil, kemudian mereka mengembalikan indung telur dan sperma tersebut kedalam rahimnya.[3]
Sedangkan pengertian bayi tabung adalah peletakan sperma laki-laki dengan ovum perempuan pada suatu cawan pembiakan, sebagai persiapan untuk diletakkannya ke dalam rahim seorang ibu.[4]
Secara garis besar, latar belakang melakukan inseminasi buatan adalah keinginan-keinginan sebagai berikut:
1.      Keinginan memperoleh atau menolong untuk memperoleh keturunan;
2.      Menghindarkan kepunahan manusia;
3.      Memperoleh keturunan jenius atau orang super;
4.      Memilih suatu jenis kelamin;
5.      Mengembangkan teknologi kedokteran.[5]
B.     Teknik inseminasi buatan

 
Teknik inseminasi buatan ada dua cara,yaitu:Fertilisasi in Vitro (FIV) dan Tandur Alih Gamet Intra Tuba (TAGIT).
1.      Fertilisasi in Vitro (FIV)
Fertilisasi in Vitro (In Vitro Fertilitation) ialah usaha fertilisasi yang dilakukan di luar tubuh, di dalam cawan biakan (petri disk), dengan suasana yang mendekati ilmiah. Jika berhasil, pada saat mencapai stadium morula,hasil fertilisasi ditandur-alihkan ke endometrium rongga uterus. Teknik ini biasa dikenal dengan”bayi tabung” atau pembuahan di luar tubuh.
2.      Tandur Alih Gamet Intra Tuba(TAGIT)
Tandur Alih Gamet Intra Tuba (Gamette Intra Fallopian Transfer) ialah usaha mempertemukan sel benih (gamet), yaitu ovum dan sperma, dengan cara menyemprotkan campuran sel benih itu memakai kanultuba ke dalam ampulla. Metode ini bukan metode bayi tabung karena pembuahan terjadi di saluran telur (tuba fallopi) si ibu sendiri.
Di luar negeri teknik TAGIT lebih berhasil dibanding dengan FIV. Perbandingannya cukup mencolok yaitu 40:20. Teknik yang terbaik dari keduanya tergantung pada keadaan pemilik sperma dan ovum serta keadaan kandungan.[6]
C.    Prosedur bayi tabung
Adapun prosedur dari teknik bayi tabung, terdiri dari beberapa tahapan. Yaitu:
1.    Tahap pertama: Pengobatan merangsang indung telur.
Pada tahap ini isteri diberi obat yang merangsang indung telur, sehingga dapat mengeluarkan banyak ovum dan cara ini berbeda dengan cara biasa, hanya satu ovum yang berkembang dalam setiap siklus haid. Obat yang diberikan kepada isteri dapat berupa obat makan atau obat suntik yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah ternyata sel-sel telurnya matang.
Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari dengan pemeriksaan ultrasonografi(USG). Ada kalanya indung telur gagal bereaksi terhadap obat itu. Apabila demikian, pasangan suami-isteri masih dapat mengikuti program bayi pada kesempatan yang lain, mungkin dengan obat atau dosis obat yang berlainan.
  
2.    Tahap kedua : Pengambilan sel telur
Apabila sel telur isteri sudah banyak, maka dilakukan pengambilan sel telur yang akan dilakukan dengan suntikan lewat vagina di bawah bimbingan USG.
3.    Tahap ketiga : pembuahan atau fertilisasi sel telur.
Setelah berhasil mengeluarkan beberapa sel telur, suami diminta mengeluarkan sendiri sperma. Sperma akan diproses, sehingga sel-sel sperma suami yang baik saja yang akan dipertemukan dengan sel-sel telur isteri dalam tabung gelas di laboraturium. Sel-sel telur isteri sel-sel sperma suami yang sudah dipertemukan itu kemudian dibiak dalam lemari pengeram. Pemantauan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel.
4.    Tahap keempat :Pemindahan embrio
Kalau terjadi fertilisasi sebuah sel telur dengan sebuah sperma, maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah menjadibeberapa sel, yang disebut embrio. Embrio ini akan dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga rahim ibunya 2-3 hari kemudian.
5.    Tahap kelima : Pengamatan terjadinya kehamilan
Setelah implantasi embrio, maka tinggal menunggu apakah akan kehamilan terjadi. Apabila 14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka dilakukan pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan. Kehamilan baru dipastikan dengan pemeriksaan USG seminggu kemudian.[7]
D.    Analisis pelaksanaan inseminasi buatan menurut tinjauan hukum islam[8]
Pelaksanaan inseminasi buatan membawa dilema terutama jika dikaitkan dengan hukum islam. Bab ini akan menganalisis permasalahan tersebut, yang menyangkut hal-hal seperti:
(1). Pengambilan bibit, (2). Penanaman bibit, dan (3). Asal penempatan bibit.
1.    Pengambilan Bibit
Yang dimaksud dengan pengambilan bibit disini adalah pengambilan sel telur (ovum pick up) dan pengambilan/pengeluaran sperma.
·      Pengambilan sel telur (Ovum Pick Up = OPU)
Dalam inseminasi buatan ada dua cara untukpengambilan sel telur,yaitu dengan laparoskopi dan USG (Ultrasonografi). Dengan cara laparoskopi folikel akan tampak jelas pada lapang pandangan laparoskopi kemudian indung telur dipegang dengan penjepit dan dilakukan pengisapan. Cairan tersebut diperiksa dibawah mikroskop untuk meyakinkan apakah sel telur sudah ditemukan. Adapun dengan USG, folikel yang tampak dilayar ditusuk dengan jarum melalui vagina kemudian dilakukan pengisapan folikel yang berisi sel telur seperti cara pengisapan dengan laparoskopi.
Persoalan = persoalan melihat aurat besar, karena kedua cara di atas tidak dapat dilepaskan dengan melihat atau pun meraba dan memasukkan sesuatu pada vagina wanita.
Analisis = pada dasarnya islam melarang melihat aurat orang lain dan setiap muslim diwajibkan memelihara aurat sendiri. Syafi’iyah dan Hanabilah dalam suatu riwayat menyatakan bahwa semua badan wanita merdeka adalah aurat sedang menurut Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa semua badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Aurat itu dilarang dibuka di hadapan laki-laki lain. Akan tetapi mereka sepakat kalau karena dharurat seperti berobat,boleh dibuka. Tusuf al-Qardhawy dalam kitabnya Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam menyatakan bahwa dalam kondisi dharurat atau hajat, memandang atau memegang aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu birahi terjaga.
Dalam praktek pengambilan sel telur seperti dijelaskan di atas, para dokter ahli tidak lepas dari melihat bahkan meraba atau memasukkan sesuatu dalam aurat besar wanita. Di samping itu para dokter sering juga berkhalwat dengan pasien ketika mendiagnosa penyakit. Pelaksanaan tersebut jika diniati dengan baik,terjaga keamanan, dan tidak merangsang syahwat dapat dikatagorikan sebagai hal yang dharurat. Islam membolehkannya karena sesuai dengan kaidah ushul fiqh.(keadaan dharurat membolehkan sesuatu yang dilarang).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa pengambilan sel telur (ovum) dalam pelaksanaan inseminasi buatan dihalalkan karena pertimbangan dharurat. Di samping kondisi itu, dokter pemeriksa pun harus tetap menjaga etik kedokteran.
·      Pengeluaran sperma
Dibanding dengan pengambilan sel telur, pengeluaran dan pengambilan sperma relatif lebih mudah. Untuk memperoleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan antara lain dengan: (a) istimna’ (masturbasi, onani), (b) ‘azl(coitus interruptus: senggama terputus), (c) dihisap langsung dari pelir (testis), (d) jima’ dengan memakai kondom, (e) sperma yang ditumpahkan ke dalam vagina yang dihisap dengan cepat dengan spuit, dan (f) sperma mimpi malam. Untuk keperluan inseminasi buatan,cara yang terbaik adalah masturbasi (onani).
Persoalan = bagaimana hukum onani dalam kaitan dengan pelaksanaan inseminasi buatan tersebut.
Analisis = al-Quran surat 23:5, 24:30, 31 dan 70:29 Allah SWT memerintahkan agar manusia menjaga kemaluannya kecuali kepada yang telah dihalalkan. Secara umum islam memandang bahwa melakukan onani tergolong perbuatan tidak etis. Mengenai hukum, fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang mengharamkan pada hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayid Sabiq menyatakan bahwa Malikiyah,Syafi’iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Allah SWT memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan kecuali kepada isteri atau budak yang dimilikinya. Ahnaf berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumnya menjadi wajib. Kaidah ushul menyebutkan: mengambil yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib.
Kalau karena alasan takut zina, atau kesehatan, sedangkan tidak memiliki isteri atau amah (budak) dan tidak mampu kawin, maka menurut Hanabilah onani diperbolehkan. Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka onani hukumnya haram. Ibnu Hazim, Ibn Umar dan Atha’ berpendapat bahwa onani hukumnya makruh.
Memperhatikan pendapat-pendapat mengenai hukum onani di atas, maka dalam kaitan dengan pengeluaran/pengambilan sperma untuk inseminasi buatan, boleh dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan sel telur (ovum) dan sperma untuk keperluan inseminasi buatan – dengan illat hajah tentunya – dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
2.    Penanaman Bibit (Embryo Transfer)
Setelah sel telur dan sperma didapat, proses inseminasi buatan seperti telah disinggungkan pada uraian sebelumnya, dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi jika teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim. Untuk menghindari kemungkinan kegagalan, penanaman bibit biasanya lebih dari satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang.
Persoalan = bagaimana hukum pembuangan embrio tersebut. Apakah hal tersebut dapat digolongkan kepada pembunuhan?
Analisis =  patut dicatat bahwa embrio tersebut tidak berada dalam rahim wanita. Kalau abortus diartikan sebagai keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung, maka pembicaraan ini tidak tergolong pada perbuatan aborsi, karena bibit tersebut belum/tidak berada pada rahim wanita.
Hukum pengguguran/pembunuhan janin yang diperselisihkan para fuqaha adalah pengguguran yang dilakukan sebelum 120 hari (empat bulan) setelah terjadinya konsepsi. Pengguguran yang dilakukan 4 bulan setelah konsepsi, mereka sepakat tentang keharamannya. Ulama Hanafiyah memperbolehkan pengguguran janin sebelum mencapai 120 hari. Sebagian madzhab ini ada yang berpendapat hukumnya makruh bila tanpa udzur. Ulama Zaidiyah sebagai dijelaskan oleh al-Dasuqi menghukumi haram. Pendapat ini yang terkuat dalam madzhab Maliki. Ulama Syafi’iyah berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh, ada yang menghukumi makruh, dan ada yang menghukumi haram. Hanabilah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, menyatakan bahwa pengguguran yang dilakukan sebelum berbentuk manusia tidak dikenai sanksi apapun.
Dari berbagai pendapat di atas, pemakalah cenderung  menyatakan bahwa pemusnahan embrio sisa penanaman bibit dalam pelaksanaan inseminasi buatan itu dihalalkan/diperbolehkan dengan alasan:
Pertama,embrio tersebut belum ditanamkan dalam rahim wanita. Kedua, embrio tersebut bisa jadi tidak menimbulkan kehamilan kalau ditanamkam dalam rahim wanita. Ketiga, embrio tersebut belum dapat disebut sebagai manusia sebenarnya tetapi masih berupa konsepsi. Keempat, embrio sisa tersebut kalau dibekukan dapat mendorong terwujudnya Bank Sperma atau Bank Embrio di mana para ulama sepakat mengharamkannya. Pemakalah juga setuju kalau pembekuan embrio itu dilakukan demi persiapan kalau embrio yang telah ditanamkan tadi gagal. Akan tetapi kalau ternyata embrio yang ditanamkan tersebut dapat berhasil (terjadi kehamilan) maka sisa embrio yang mungkin masih ada harus dimusnahkan agar tidak dipergunakan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab (upaya antisipasi).
Dengan alasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemusnahan embrio dalam pelaksanaan inseminasi buatan tidak dapat digolongkan sebagai pembunuhan terhadap manusia sebenarnya.
3.    Asal Dan Tempat Penanaman Bibit
Ø  Bibit dari suami-isteri dan ditanamkan pada isteri
Inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari sperma suami  dan ovum isteri – jika dikaitkan dengan batasan nikah dan zina – maka ia bukan termasuk katagori zina karena suami isteri tersebut telah terikat dengan akad nikah. Oleh sebab itu pertemuan sperma dan ovumnya dihalalkan.
Ø  Bibit dari suami-isteri dan ditanamkan pada orang lain
Perlu ditegaskan bahwa secara hakikat terjadinya manusia adalah karena pembuahan sperma dan ovum. Maka ibu titipan hanya berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan atau kelangsungan hidup embrio dan ovum tersebut. Wanita yang dititipi itu tidak ada kaitan apa-apa dengan embrio yang sudah berkembang. Dari sisi ini, inseminasi buatan tidak menciderai akad nikah, karena bibit berasal dari suami isteri yang sah. Akan tetapi dari sisi etik, khususnya yang tampak pada masyarakat umum, inseminasi model ini kurang etis karena menimbulkan banyak persoalan seperti kemungkinan munculnya ibu sewaan; wanita kaya yang demi karir tidak mau hamil walaupun mau memiliki anak; kemungkinan ingkar janji; yaitu anak yang dilahirkan tidak dikembalikan kepada yang menitipkan; dan kurangnya kasih sayang orang tua dan anak atau sebaliknya.
Ø  Sperma suami yang telah meninggal dan ovum isteri ditanam pada rahim isteri
Diantara sebab putusnya hubungan pernikahan adalah salah seorang (suami atau isteri) meninggal. Bagi wanita (janda) diperbolehkannikah kepada orang lain lagi setelah menunggu masa iddah. Dalam kitab Bidayah al-Mujtahid dinyatakan bahwa iddah dikarenakan tiga sebab: thalaq, mati dan masa khiyar (pilih) amah (budak wanita) jika dimerdekakan. Iddah karena ditinggal mati suami 4 bulan 10 hari (Surat Al-Baqarah 234), sedangkan bagi wanita hamil iddahnya sampai dengan lahirnya anak (Surat at-Thalaq 14), baik karena cerai mati atau cerai hidup.
Berdasarkan alasan di atas maka pembuahan ovum dengan sperma dari suami yang telah meninggal tidak dapat dibenarkan dalm islam, karena keduanya sudah tidak ada hubungan pernikahan lagi.
Ø  Sperma laki-laki lain dibuahkan dengan ovum wanita lain dan ditanam pada rahim wanita yang tidak bersuami.
Di atas telah dinyatakan bahwa pembuahan hanya dihalalkan bagi orang yang memiliki ikatan pernikahan yang sah. Oleh karena itu inseminasi model ini tidak dibenarkan.
Ø  Sperma suami dibuahkan dengan ovum wanita lain (donor) dan ditanam dalam rahim isteri
Walaupun isteri sendiri yang dijadikan tempat penanaman embrio, tetapi karena konsepsinya berasal dari pembuahan bibit yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah, maka inseminasi model ini juga tidak dapat dibenarkan.
Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri
Inseminasi model ini sama halnya dengan inseminasi model kelima, yaitu ovum dan tempat penanaman bibit ada pada isteri sendiri namun karena sperma dari orang lain maka diharamkan oleh islam.
Ø  Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan dengan ovum wanita lain (donor) dan ditanamkan pada rahim isteri
Bibit yang berasal dari donor yang tidak mempunyai ikatan pernikahan yang sah, sebagaimana uraian terdahulu, tidak dapat dibenarkan oleh islam. Akan tetapi jika bibit berasal dari pasangan suami-isteri yang sah kemudian dititipkan kepada isteri, maka ia hanya menjadi penitipan. Embrio yang dititipkan itu tidak mempengaruhi sel telur tempat embrio berkembang biak untuk menjadi manusia sempurna. Kasus ini dapat disamakan dengan inseminasi buatan model kedua di atas.
Ø  Bibit dari suami-isteri dan dititipkan kepada rahim isteri yang lain (karena poligami)
Kalau dapat dihindari adanya percekcokan di belakang hari. Maka inseminasi model terakhir ini dapat disamakan dengan model kedua dan ketujuh. Perbedaannya pada adanya ikatan pernikahan karena poligami. Secara hukum diperbolehkan tetapi secara etis perlu diperhatikan efek sampingnya sebagaimana halnya dengan ibu titipan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pembuahan antar sperma dan ovum hanya diperbolehkan bagi pasangan yang memiliki ikatan pernikahan yang sah. Adapu tempat penanaman embrio itu hanya soal teknis. Walaupun begitu harus dihindari madharat yang lebih besar dari efek sampingnya.
E.     Status Anak Hasil Inseminasi Buatan[9]
1.    Anak hasil pembuahan sperma dan ovum yang memiliki ikatan nikah
Dalam hal ini penanaman embrio bisa terdapat dalam tiga kemungkinan, pada rahim isteri sendiri yang memiliki ovum (tidak poligami), pada rahim isteri sendiri yang tidak memiliki ovum(berpoligami), dan pada orang lain.
§  Pada isteri sendiri yang memiliki ovum
Status anak untuk inseminasi jenis ini, adah anak kandung, baik secara genetik maupun hayati. Hal-hal yang menyangkut pemakaian nama bapak sebagai sumber keturunan, perwalian, kemahraman, dan waris berlaku sebagai anak kandung.
§  Pada isteri sendiri yang tidak memiliki ovum
Kalau ditinjau secara lahiriyah dan hayati, anak tersebut adalah anak milik ibu yang melahirkan. Tetapi jika ditinjau secara hakiki, anak tersebut adalah anak yang mempunyai bibit, karena wanita yang melahirkan itu hanya menerima titipan embrio. Kalau ditinjau dari sisi ikatan pernikahan, dimana yang melahirkan itu juga ada hubungan nikah, maka anak yang dilahirkan itu juga anaknya. Kalau ditinjau dari asal bibit, anak yang dilahirkan itu menjadi anak tiri an suami yang mempunyai sperma. Kalau dilihat dari sisi ia melahirkan, anak tersebut menjadi anak kandungnya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, bahwa terjadinya konsepsi manusia adalah pertemuan sperma dan ovum, maka anak yang dilahirkan dari isteri yang lain itu berstatus sebagai anak tiri dan sekaligus anak susuannya.
§  Pada wanita lain yang tidak mempunyai ikatan nikah
Anak tersebut dapat diqiyaskan dengan anak susuan karena wanita yang melahirkan ini hanya dititipi embrio hasil pertemuan sperma dan ovum pasangan yang terikat dengan akad nikah.
2.    Anak hasil pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah
Yang tergolong pada model ini :
§  Sperma suami yang sudah meninggal dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri
§  Sperma laki-laki lain dengan ovum wanita yang tidak bersuami dan ditanamkan pada rahim wanita yang tidak bersuami tersebut
§  Sperma suami dengan ovum wanita lain dan ditanamkan pada rahim isteri
§  Sperma laki-laki lain dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri
§  Sperma laki-laki lain dan ovum wanita lain (yidak ada ikatan nikah) dan ditanamkan pada rahim isteri.
Secara umum, pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis di atas dapat dikategorikan sebagai zina. Di antara dalil yang mengharamkan pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah ialah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Tidak halal (diharamkan) bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, air(sperma)nya menyirami tanaman orang lain (rahim wanita lain)”.(HR.Abu Daud,Tirmidzi dan dianggap shahih oleh Ibn Hibban, tapi dianggap hasan oleh al-Bazzar).
Pada hadits lain dinyatakan bahwa meletakkan atau membuahkan sperma pada rahim wanita  yang tidak halal dikatagorikan sebagai dosa besar di bawah musyrik. Hadits tersebut berbunyi :”Tidak ada dosa yang lebih besar disisi Allah setelah syirik selain sperma yang dituangkan oleh seorang laki-laki di rahim wanita yang tidak halal baginya.(HR. Ibn Abi Dunya dari Haitsam Ibn Malik al-Thaiy).
Dari alasan di atas , maka anak hasil pembuahan sperma dan ovum dari pasangan yang tidak memiliki ikatan nikah yang sah dapat digolongkan sebagai anak zina.






DAFTAR PUSTAKA

Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta. Kalam Mulia,1990
Mutawali, Muhammad Asy-Sya’rawi. Suami Istri Berkarakter Surgawi Trjm. Ibnu Barwana. Jakarta Timur. 2007
Salim. Bayi Tabung. Jakarta. Sinar Grafika, 1993
T.Yanggo, Chuzaimah. Anshary, Hafiz. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta. PT Pustaka Firdaus, 2002




0 komentar :

Posting Komentar