BAYI
TABUNG SERTA PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANGNYA
Makalah Ini
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Masail
Fiqhiyah”
Disusun Oleh:
Rizki Wisnu
Wardana 210312208
Syarifuddin H 210312210
Munif Abwani 210312211
Dosen Pengampu:
Abdillah Halim,
M.S.I.
PROGRAM
STUDI TARBIYYAH
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
OKTOBER
2013
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-qur’an surat
49:13 dan 75:39 menyebutkan bahwa Allah menjadikan manusia kepada dua jenis:
laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin tersebut masing-masing diberi
naluri saling mencintai, dan sebagai buahnya manusia di dunia ini dapat
berkembang biak. Untuk memperoleh keturunan yang sah, sebelumnya manusia
diperintahkan membentuk rumah tangga melalui proses akad nikah dengan aturan
yang telah ditentukan. Hubungan jenis kelamin itu jika tanpa didahului akad
nikah tergolong perbuatan zina. Dalam islam, zina dilarang dan hukumnya haram.
Agar tercipta
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan
petunjuk agar sebelum perkawinan memilih calon yang baik. Di antara kebahagiaan
dan kesejahteraan rumah tangga adalah hadirnya anak seperti yang didambakan.
Pada kenyataannya, kehadiran anak yang didambakan itu ada yang tidak terwujud.
Sebagai akibat
dari ketidakhadiran anak dalam suatu keluarga, setidaknya keluarga tersebut
akan mencari beberapa alternatif misalnya: 1) menyerah kepada nasib,2) adopsi,
3) cerai, 4) poligami, 5) inseminasi buatan.
Mengenai alternatif
terakhir (inseminasi buatan) yang nota bene penemuan di bidang teknologi
kedokteran, masih banyak persoalan terutama jika ditinjau dari segi hukum
agama. Oleh sebab itu makalah ini bertujuan melacak pelaksanaannya.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah
pengertian dari inseminasi buatan(bayi tabung) ?
2.
Bagaimanateknik
inseminasi buatan (bayi tabung) ?
3.
Bagaimana
prosedur inseminasi buatan (bayi tabung) ?
4.
Bagaimana
analisis pelaksanaan inseminasi buatan menurut tinjauan hukum islam beserta
permasalahan-permasalahannya ?
5.
Bagaimana status
anak dari hasil inseminasi buatan (bayi tabung) dalam islam ?
A.
Pengertian
Inseminasi Buatan
Inseminasi
buatan merupakan terjemahan dari istilah Inggrisartificial insemination. Dalam
bahasa Arab disebut al-talqih al-shina’iy. Dalam bahasa Indonesia ada
yang menyebut pemanian buatan,pembuahan buatan, atau penghamilan buatan.Secara
umum dapat diambil pengertian bahwa inseminasi buatan adalah suatu cara atau
teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus).[1]
Dalam sumber
lain mengatakan inseminasi buatan adalah perpaduan sperma pria dengan ovum
wanita, untuk maksud pembuahan atau penghamilan.[2] Imam
Asy-Sya’rawi mengatakan bayi tabung adalah mengambil ovum perempuan dan sperma
laki-laki, lalu menyiapkannya dalam tabung dalam suhu tertentu dan selam
periode tertentu selama ada kerusakan pada istrinya yang menyebabkan dirinya
tidak dapat hamil, kemudian mereka mengembalikan indung telur dan sperma
tersebut kedalam rahimnya.[3]
Sedangkan
pengertian bayi tabung adalah peletakan sperma laki-laki dengan ovum perempuan
pada suatu cawan pembiakan, sebagai persiapan untuk diletakkannya ke dalam
rahim seorang ibu.[4]
Secara garis
besar, latar belakang melakukan inseminasi buatan adalah keinginan-keinginan
sebagai berikut:
1.
Keinginan
memperoleh atau menolong untuk memperoleh keturunan;
2.
Menghindarkan
kepunahan manusia;
3.
Memperoleh
keturunan jenius atau orang super;
4.
Memilih suatu
jenis kelamin;
5.
Mengembangkan
teknologi kedokteran.[5]
B.
Teknik
inseminasi buatan
Teknik inseminasi buatan ada dua cara,yaitu:Fertilisasi in Vitro
(FIV) dan Tandur Alih Gamet Intra Tuba (TAGIT).
1.
Fertilisasi in
Vitro (FIV)
Fertilisasi in
Vitro (In Vitro Fertilitation) ialah usaha fertilisasi yang
dilakukan di luar tubuh, di dalam cawan biakan (petri disk), dengan
suasana yang mendekati ilmiah. Jika berhasil, pada saat mencapai stadium
morula,hasil fertilisasi ditandur-alihkan ke endometrium rongga uterus. Teknik
ini biasa dikenal dengan”bayi tabung” atau pembuahan di luar tubuh.
2.
Tandur Alih
Gamet Intra Tuba(TAGIT)
Tandur Alih
Gamet Intra Tuba (Gamette Intra Fallopian Transfer) ialah
usaha mempertemukan sel benih (gamet), yaitu ovum dan sperma, dengan
cara menyemprotkan campuran sel benih itu memakai kanultuba ke dalam ampulla.
Metode ini bukan metode bayi tabung karena pembuahan terjadi di saluran telur (tuba
fallopi) si ibu sendiri.
Di luar negeri
teknik TAGIT lebih berhasil dibanding dengan FIV. Perbandingannya cukup
mencolok yaitu 40:20. Teknik yang terbaik dari keduanya tergantung pada keadaan
pemilik sperma dan ovum serta keadaan kandungan.[6]
C.
Prosedur bayi
tabung
Adapun prosedur dari teknik bayi tabung, terdiri dari beberapa
tahapan. Yaitu:
1.
Tahap pertama: Pengobatan merangsang
indung telur.
Pada tahap ini isteri diberi obat yang merangsang indung telur,
sehingga dapat mengeluarkan banyak ovum dan cara ini berbeda dengan cara biasa,
hanya satu ovum yang berkembang dalam setiap siklus haid. Obat yang diberikan
kepada isteri dapat berupa obat makan atau obat suntik yang diberikan setiap
hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah ternyata sel-sel telurnya
matang.
Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari dengan pemeriksaan
ultrasonografi(USG). Ada kalanya indung telur gagal bereaksi terhadap obat itu.
Apabila demikian, pasangan suami-isteri masih dapat mengikuti program bayi pada
kesempatan yang lain, mungkin dengan obat atau dosis obat yang berlainan.
2.
Tahap kedua : Pengambilan sel
telur
Apabila sel telur isteri sudah banyak, maka dilakukan pengambilan
sel telur yang akan dilakukan dengan suntikan lewat vagina di bawah bimbingan
USG.
3.
Tahap ketiga : pembuahan
atau fertilisasi sel telur.
Setelah berhasil mengeluarkan beberapa sel telur, suami diminta
mengeluarkan sendiri sperma. Sperma akan diproses, sehingga sel-sel sperma
suami yang baik saja yang akan dipertemukan dengan sel-sel telur isteri dalam
tabung gelas di laboraturium. Sel-sel telur isteri sel-sel sperma suami yang
sudah dipertemukan itu kemudian dibiak dalam lemari pengeram. Pemantauan
berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya
diharapkan sudah terjadi pembelahan sel.
4.
Tahap keempat :Pemindahan
embrio
Kalau terjadi fertilisasi sebuah sel telur dengan sebuah sperma,
maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah menjadibeberapa sel, yang
disebut embrio. Embrio ini akan dipindahkan melalui vagina ke dalam rongga
rahim ibunya 2-3 hari kemudian.
5.
Tahap kelima : Pengamatan
terjadinya kehamilan
Setelah implantasi embrio, maka tinggal menunggu apakah akan
kehamilan terjadi. Apabila 14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi
haid, maka dilakukan pemeriksaan kencing untuk menentukan adanya kehamilan.
Kehamilan baru dipastikan dengan pemeriksaan USG seminggu kemudian.[7]
D.
Analisis
pelaksanaan inseminasi buatan menurut tinjauan hukum islam[8]
Pelaksanaan
inseminasi buatan membawa dilema terutama jika dikaitkan dengan hukum islam.
Bab ini akan menganalisis permasalahan tersebut, yang menyangkut hal-hal seperti:
(1).
Pengambilan bibit, (2). Penanaman bibit, dan (3). Asal penempatan bibit.
1.
Pengambilan
Bibit
Yang dimaksud dengan pengambilan bibit disini adalah pengambilan
sel telur (ovum pick up) dan pengambilan/pengeluaran sperma.
·
Pengambilan sel
telur (Ovum Pick Up = OPU)
Dalam
inseminasi buatan ada dua cara untukpengambilan sel telur,yaitu dengan laparoskopi
dan USG (Ultrasonografi). Dengan cara laparoskopi folikel akan
tampak jelas pada lapang pandangan laparoskopi kemudian indung telur dipegang
dengan penjepit dan dilakukan pengisapan. Cairan tersebut diperiksa dibawah
mikroskop untuk meyakinkan apakah sel telur sudah ditemukan. Adapun dengan USG,
folikel yang tampak dilayar ditusuk dengan jarum melalui vagina kemudian
dilakukan pengisapan folikel yang berisi sel telur seperti cara pengisapan dengan
laparoskopi.
Persoalan =
persoalan melihat aurat besar, karena kedua cara di atas tidak dapat dilepaskan
dengan melihat atau pun meraba dan memasukkan sesuatu pada vagina wanita.
Analisis = pada
dasarnya islam melarang melihat aurat orang lain dan setiap muslim diwajibkan
memelihara aurat sendiri. Syafi’iyah dan Hanabilah dalam suatu riwayat
menyatakan bahwa semua badan wanita merdeka adalah aurat sedang menurut
Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa semua badan wanita adalah aurat
kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Aurat itu dilarang dibuka di hadapan
laki-laki lain. Akan tetapi mereka sepakat kalau karena dharurat seperti
berobat,boleh dibuka. Tusuf al-Qardhawy dalam kitabnya Al-Halal wa al-Haram
fi al-Islam menyatakan bahwa dalam kondisi dharurat atau hajat, memandang
atau memegang aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu birahi
terjaga.
Dalam praktek
pengambilan sel telur seperti dijelaskan di atas, para dokter ahli tidak lepas
dari melihat bahkan meraba atau memasukkan sesuatu dalam aurat besar wanita. Di
samping itu para dokter sering juga berkhalwat dengan pasien ketika mendiagnosa
penyakit. Pelaksanaan tersebut jika diniati dengan baik,terjaga keamanan, dan
tidak merangsang syahwat dapat dikatagorikan sebagai hal yang dharurat. Islam
membolehkannya karena sesuai dengan kaidah ushul fiqh.(keadaan dharurat
membolehkan sesuatu yang dilarang).
Berdasarkan
uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa pengambilan sel telur (ovum)
dalam pelaksanaan inseminasi buatan dihalalkan karena pertimbangan dharurat. Di
samping kondisi itu, dokter pemeriksa pun harus tetap menjaga etik kedokteran.
·
Pengeluaran
sperma
Dibanding
dengan pengambilan sel telur, pengeluaran dan pengambilan sperma relatif lebih
mudah. Untuk memperoleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan antara lain
dengan: (a) istimna’ (masturbasi, onani), (b) ‘azl(coitus
interruptus: senggama terputus), (c) dihisap langsung dari pelir (testis),
(d) jima’ dengan memakai kondom, (e) sperma yang ditumpahkan ke dalam
vagina yang dihisap dengan cepat dengan spuit, dan (f) sperma mimpi malam.
Untuk keperluan inseminasi buatan,cara yang terbaik adalah masturbasi (onani).
Persoalan =
bagaimana hukum onani dalam kaitan dengan pelaksanaan inseminasi buatan
tersebut.
Analisis =
al-Quran surat 23:5, 24:30, 31 dan 70:29 Allah SWT memerintahkan agar manusia
menjaga kemaluannya kecuali kepada yang telah dihalalkan. Secara umum islam
memandang bahwa melakukan onani tergolong perbuatan tidak etis. Mengenai hukum,
fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang
mengharamkan pada hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal
tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayid Sabiq menyatakan bahwa
Malikiyah,Syafi’iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan
adalah bahwa Allah SWT memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan
kecuali kepada isteri atau budak yang dimilikinya. Ahnaf berpendapat bahwa
onani memang haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumnya menjadi
wajib. Kaidah ushul menyebutkan: mengambil yang lebih ringan dari suatu
kemudharatan adalah wajib.
Kalau karena
alasan takut zina, atau kesehatan, sedangkan tidak memiliki isteri atau amah
(budak) dan tidak mampu kawin, maka menurut Hanabilah onani diperbolehkan.
Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka onani hukumnya haram. Ibnu
Hazim, Ibn Umar dan Atha’ berpendapat bahwa onani hukumnya makruh.
Memperhatikan
pendapat-pendapat mengenai hukum onani di atas, maka dalam kaitan dengan
pengeluaran/pengambilan sperma untuk inseminasi buatan, boleh dilakukan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan sel telur (ovum) dan sperma untuk
keperluan inseminasi buatan – dengan illat hajah tentunya – dapat dibenarkan
oleh hukum Islam.
2.
Penanaman Bibit
(Embryo Transfer)
Setelah sel telur dan sperma didapat, proses inseminasi buatan
seperti telah disinggungkan pada uraian sebelumnya, dilakukan pencucian sperma
dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati.
Sesudah itu antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in
vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi
jika teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim. Untuk
menghindari kemungkinan kegagalan, penanaman bibit biasanya lebih dari satu.
Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang.
Persoalan = bagaimana hukum pembuangan embrio tersebut. Apakah hal
tersebut dapat digolongkan kepada pembunuhan?
Analisis = patut dicatat
bahwa embrio tersebut tidak berada dalam rahim wanita. Kalau abortus diartikan
sebagai keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung, maka pembicaraan ini
tidak tergolong pada perbuatan aborsi, karena bibit tersebut belum/tidak berada
pada rahim wanita.
Hukum pengguguran/pembunuhan janin yang diperselisihkan para fuqaha
adalah pengguguran yang dilakukan sebelum 120 hari (empat bulan) setelah
terjadinya konsepsi. Pengguguran yang dilakukan 4 bulan setelah konsepsi,
mereka sepakat tentang keharamannya. Ulama Hanafiyah memperbolehkan pengguguran
janin sebelum mencapai 120 hari. Sebagian madzhab ini ada yang berpendapat
hukumnya makruh bila tanpa udzur. Ulama Zaidiyah sebagai dijelaskan oleh
al-Dasuqi menghukumi haram. Pendapat ini yang terkuat dalam madzhab Maliki.
Ulama Syafi’iyah berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh, ada yang
menghukumi makruh, dan ada yang menghukumi haram. Hanabilah, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibn Qudamah, menyatakan bahwa pengguguran yang dilakukan
sebelum berbentuk manusia tidak dikenai sanksi apapun.
Dari berbagai pendapat di atas, pemakalah cenderung menyatakan bahwa pemusnahan embrio sisa
penanaman bibit dalam pelaksanaan inseminasi buatan itu
dihalalkan/diperbolehkan dengan alasan:
Pertama,embrio tersebut belum ditanamkan dalam rahim wanita. Kedua,
embrio tersebut bisa jadi tidak menimbulkan kehamilan kalau ditanamkam dalam
rahim wanita. Ketiga, embrio tersebut belum dapat disebut sebagai
manusia sebenarnya tetapi masih berupa konsepsi. Keempat, embrio sisa
tersebut kalau dibekukan dapat mendorong terwujudnya Bank Sperma atau Bank Embrio
di mana para ulama sepakat mengharamkannya. Pemakalah juga setuju kalau
pembekuan embrio itu dilakukan demi persiapan kalau embrio yang telah
ditanamkan tadi gagal. Akan tetapi kalau ternyata embrio yang ditanamkan
tersebut dapat berhasil (terjadi kehamilan) maka sisa embrio yang mungkin masih
ada harus dimusnahkan agar tidak dipergunakan oleh pihak lain yang tidak
bertanggung jawab (upaya antisipasi).
Dengan alasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemusnahan embrio
dalam pelaksanaan inseminasi buatan tidak dapat digolongkan sebagai pembunuhan
terhadap manusia sebenarnya.
3.
Asal Dan Tempat
Penanaman Bibit
Ø Bibit dari suami-isteri dan ditanamkan pada isteri
Inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari sperma suami dan ovum isteri – jika dikaitkan dengan batasan
nikah dan zina – maka ia bukan termasuk katagori zina karena suami isteri
tersebut telah terikat dengan akad nikah. Oleh sebab itu pertemuan sperma dan
ovumnya dihalalkan.
Ø Bibit dari suami-isteri dan ditanamkan pada orang lain
Perlu ditegaskan bahwa secara hakikat terjadinya manusia adalah
karena pembuahan sperma dan ovum. Maka ibu titipan hanya berfungsi sebagai
tempat perkembangbiakan atau kelangsungan hidup embrio dan ovum tersebut.
Wanita yang dititipi itu tidak ada kaitan apa-apa dengan embrio yang sudah
berkembang. Dari sisi ini, inseminasi buatan tidak menciderai akad nikah,
karena bibit berasal dari suami isteri yang sah. Akan tetapi dari sisi etik,
khususnya yang tampak pada masyarakat umum, inseminasi model ini kurang etis
karena menimbulkan banyak persoalan seperti kemungkinan munculnya ibu sewaan;
wanita kaya yang demi karir tidak mau hamil walaupun mau memiliki anak;
kemungkinan ingkar janji; yaitu anak yang dilahirkan tidak dikembalikan kepada
yang menitipkan; dan kurangnya kasih sayang orang tua dan anak atau sebaliknya.
Ø Sperma suami yang telah meninggal dan ovum isteri ditanam pada
rahim isteri
Diantara sebab putusnya hubungan pernikahan adalah salah seorang
(suami atau isteri) meninggal. Bagi wanita (janda) diperbolehkannikah kepada orang
lain lagi setelah menunggu masa iddah. Dalam kitab Bidayah
al-Mujtahid dinyatakan bahwa iddah dikarenakan tiga sebab: thalaq, mati dan
masa khiyar (pilih) amah (budak wanita) jika dimerdekakan. Iddah
karena ditinggal mati suami 4 bulan 10 hari (Surat Al-Baqarah 234), sedangkan
bagi wanita hamil iddahnya sampai dengan lahirnya anak (Surat at-Thalaq 14),
baik karena cerai mati atau cerai hidup.
Berdasarkan alasan di atas maka pembuahan ovum dengan sperma dari
suami yang telah meninggal tidak dapat dibenarkan dalm islam, karena keduanya
sudah tidak ada hubungan pernikahan lagi.
Ø Sperma laki-laki lain dibuahkan dengan ovum wanita lain dan ditanam
pada rahim wanita yang tidak bersuami.
Di atas telah dinyatakan bahwa pembuahan hanya dihalalkan bagi
orang yang memiliki ikatan pernikahan yang sah. Oleh karena itu inseminasi
model ini tidak dibenarkan.
Ø Sperma suami dibuahkan dengan ovum wanita lain (donor) dan ditanam
dalam rahim isteri
Walaupun isteri sendiri yang dijadikan tempat penanaman embrio,
tetapi karena konsepsinya berasal dari pembuahan bibit yang tidak memiliki
ikatan pernikahan yang sah, maka inseminasi model ini juga tidak dapat
dibenarkan.
Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan dengan ovum isteri dan
ditanamkan pada rahim isteri
Inseminasi model ini sama halnya dengan inseminasi model kelima,
yaitu ovum dan tempat penanaman bibit ada pada isteri sendiri namun karena
sperma dari orang lain maka diharamkan oleh islam.
Ø Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan dengan ovum wanita lain
(donor) dan ditanamkan pada rahim isteri
Bibit yang berasal dari donor yang tidak mempunyai ikatan
pernikahan yang sah, sebagaimana uraian terdahulu, tidak dapat dibenarkan oleh
islam. Akan tetapi jika bibit berasal dari pasangan suami-isteri yang sah
kemudian dititipkan kepada isteri, maka ia hanya menjadi penitipan. Embrio yang
dititipkan itu tidak mempengaruhi sel telur tempat embrio berkembang biak untuk
menjadi manusia sempurna. Kasus ini dapat disamakan dengan inseminasi buatan
model kedua di atas.
Ø Bibit dari suami-isteri dan dititipkan kepada rahim isteri yang
lain (karena poligami)
Kalau dapat dihindari adanya percekcokan di belakang hari. Maka
inseminasi model terakhir ini dapat disamakan dengan model kedua dan ketujuh.
Perbedaannya pada adanya ikatan pernikahan karena poligami. Secara hukum
diperbolehkan tetapi secara etis perlu diperhatikan efek sampingnya sebagaimana
halnya dengan ibu titipan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pembuahan antar sperma dan ovum
hanya diperbolehkan bagi pasangan yang memiliki ikatan pernikahan yang sah.
Adapu tempat penanaman embrio itu hanya soal teknis. Walaupun begitu harus
dihindari madharat yang lebih besar dari efek sampingnya.
E.
Status Anak
Hasil Inseminasi Buatan[9]
1.
Anak hasil
pembuahan sperma dan ovum yang memiliki ikatan nikah
Dalam hal ini penanaman embrio bisa terdapat dalam tiga
kemungkinan, pada rahim isteri sendiri yang memiliki ovum (tidak poligami),
pada rahim isteri sendiri yang tidak memiliki ovum(berpoligami), dan pada orang
lain.
§ Pada isteri sendiri yang memiliki ovum
Status anak
untuk inseminasi jenis ini, adah anak kandung, baik secara genetik maupun
hayati. Hal-hal yang menyangkut pemakaian nama bapak sebagai sumber keturunan,
perwalian, kemahraman, dan waris berlaku sebagai anak kandung.
§ Pada isteri sendiri yang tidak memiliki ovum
Kalau ditinjau
secara lahiriyah dan hayati, anak tersebut adalah anak milik ibu yang
melahirkan. Tetapi jika ditinjau secara hakiki, anak tersebut adalah anak yang
mempunyai bibit, karena wanita yang melahirkan itu hanya menerima titipan
embrio. Kalau ditinjau dari sisi ikatan pernikahan, dimana yang melahirkan itu
juga ada hubungan nikah, maka anak yang dilahirkan itu juga anaknya. Kalau
ditinjau dari asal bibit, anak yang dilahirkan itu menjadi anak tiri an suami
yang mempunyai sperma. Kalau dilihat dari sisi ia melahirkan, anak tersebut
menjadi anak kandungnya.
Berdasarkan
uraian sebelumnya, bahwa terjadinya konsepsi manusia adalah pertemuan sperma
dan ovum, maka anak yang dilahirkan dari isteri yang lain itu berstatus sebagai
anak tiri dan sekaligus anak susuannya.
§ Pada wanita lain yang tidak mempunyai ikatan nikah
Anak tersebut
dapat diqiyaskan dengan anak susuan karena wanita yang melahirkan ini hanya
dititipi embrio hasil pertemuan sperma dan ovum pasangan yang terikat dengan
akad nikah.
2.
Anak hasil
pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah
Yang tergolong pada model ini :
§ Sperma suami yang sudah meninggal dengan ovum isteri dan ditanamkan
pada rahim isteri
§ Sperma laki-laki lain dengan ovum wanita yang tidak bersuami dan
ditanamkan pada rahim wanita yang tidak bersuami tersebut
§ Sperma suami dengan ovum wanita lain dan ditanamkan pada rahim
isteri
§ Sperma laki-laki lain dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim
isteri
§ Sperma laki-laki lain dan ovum wanita lain (yidak ada ikatan nikah)
dan ditanamkan pada rahim isteri.
Secara umum,
pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis di atas dapat dikategorikan sebagai
zina. Di antara dalil yang mengharamkan pembuahan sperma dan ovum yang tidak
memiliki ikatan nikah ialah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Tidak halal
(diharamkan) bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
air(sperma)nya menyirami tanaman orang lain (rahim wanita lain)”.(HR.Abu
Daud,Tirmidzi dan dianggap shahih oleh Ibn Hibban, tapi dianggap hasan oleh
al-Bazzar).
Pada hadits
lain dinyatakan bahwa meletakkan atau membuahkan sperma pada rahim wanita yang tidak halal dikatagorikan sebagai dosa
besar di bawah musyrik. Hadits tersebut berbunyi :”Tidak ada dosa yang lebih
besar disisi Allah setelah syirik selain sperma yang dituangkan oleh seorang
laki-laki di rahim wanita yang tidak halal baginya.(HR. Ibn Abi Dunya dari
Haitsam Ibn Malik al-Thaiy).
Dari alasan di
atas , maka anak hasil pembuahan sperma dan ovum dari pasangan yang tidak
memiliki ikatan nikah yang sah dapat digolongkan sebagai anak zina.
DAFTAR PUSTAKA
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta. Kalam Mulia,1990
Mutawali, Muhammad Asy-Sya’rawi. Suami Istri Berkarakter Surgawi
Trjm. Ibnu Barwana. Jakarta Timur. 2007
Salim. Bayi Tabung. Jakarta. Sinar Grafika, 1993
T.Yanggo, Chuzaimah. Anshary, Hafiz. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta. PT Pustaka Firdaus, 2002
0 komentar :
Posting Komentar